JAKARTA – Kantor Staf Presiden (KSP) berupaya menguatkan peran strategis perempuan dalam penanggulangan bencana. Terutama guna memenuhi kebutuhan substantif perempuan dan kelompok rentan lainnya, sesuai rancangan undang-undang perubahan atas UU No.24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pada Prolegnas 2021. Tema itulah yang diangkat KSP dalam focus group discussion (FGD) secara virtual bersama beberapa organisasi dari Yogyakarta dan Sulawesi, Rabu (3/2).
“Melalui tema yang diangkat, KSP ingin memastikan bahwa pendekatan pembangunan perlu mengarusutamakan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM) dan memperhatikan lingkungan hidup terutama kelompok rentan seperti perempuan, anak, difabel dan kelompok rentan lainnya,” ujar Deputi V KSP Jaleswari Pramodawardhani.
Jaleswari menambahkan FGD ini bertujuan untuk sharing perspektif, lessons-learned dan best practice, serta konsolidasi rekomendasi tentang strategi pelibatan peran perempuan. Sehingga implementasinya semakin kuat dalam memenuhi kebutuhan substantif perempuan dan kelompok rentan lain dalam penanggulangan bencana. FGD ini, lanjut Jaleswari, juga menunjukkan bahwa KSP selalu membuka pintu bagi setiap input dan rekomendasi dari semua lapisan masyarakat yang merupakan pemangku kepentingan.
Tenaga Ahli Utama Kedeputian V KSP Siti Ruhaini Dzuhayatin menambahkan, Pemerintah tidak bisa bergerak sendiri dalam merespon bencana sebagai sebuah multihazard. Maka, kata Ruhaini, perlu adanya keterlibatan gerakan masyarakat dan orkestrasi yang terus menerus. “Sementara kami dari Kedeputian V KSP yang punya fungsi terkait perundangan akan terus berkomunikasi Kedeputian II yang bergerak di bidang pembangunan manusia,” jelas Ruhaini.
Adapun Tenaga Ahli Utama Kedeputian II KSP Brian Sri Prahastuti menilai, semua survivor dari bencana memiliki kebutuhan masing-masing yang harus dipenuhi. Tapi, Brian menegaskan, perempuan memiliki kebutuhan khusus yang tidak bisa dilupakan.
Hening Parlan dari Aisyiyah yang hadir pada FGD ini, merekomendasikan perlunya desk khusus untuk memberikan akses cepat terhadap pemenuhan kebutuhan perempuan. “Sehingga perlu sinergi program Pemerintah dengan lembaga non pemerintah untuk menguatkan pekerjaan di lapangan,” kata Hening.
Sementara Mulyadi dari SAR Solo menyadari, respon kebencanaan masih sangat male dominatif sehingga berdampak pada terlupakannya kebutuhan spesifik perempuan dan kelompok rentan lainnya. Adapun perwakilan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) Iis Yulianti menerangkan keterlibatan perempuan masih perlu ditingkatkan dalam program Desa Tangguh Bencana (Destana), karena saat ini syarat kepesertaan 30 persen perempuan Destana belum terpenuhi. “Kami akan mendorong pengarusutamaan gender, baik ketika ada bencana maupun pasca bencana,” tambah Iis.
Pada FGD ini, beberapa lembaga non pemerintah yang juga hadir antara lain Gender Working Group gempa Yogyakarta dan Padang, LPSDM-NTB, KAPAL Perempuan, YKPM Sulawesi Selatan, dan KPKPST. Adapun perwakilan dari kementerian berasal dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak ( KPPPA).