Categories
Berita Berita KSP Kedeputian Kedeputian II

Antisipasi Alih Modalitas Perokok Muda, KSP Himpun Masukan

JAKARTA – Kantor Staf Presiden (KSP) menghimpun masukan terkait modalitas baru perilaku merokok dengan cara baru seperti Vape atau Electronic Nicotine Delivery System dan Heated Tobacco Product (HTP). Langkah ini untuk melengkapi upaya pemerintah mewujudkan penurunan konsumsi rokok pada usia 10-18 tahun hingga 8,7% sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 – 2024. “Maka ini jadi perhatian kami. Apalagi ada kecenderungan, terutama dari kelompok anak muda, beralih dari rokok konvensional ke modalitas baru, baik itu vaping atau pun HTP,” tutur Tenaga Ahli Utama kedeputian II KSP Brian Sri Prahastuti di Jakarta, Sabtu (8/5).

Faktanya, jumlah perokok remaja Indonesia lebih tinggi jika dibandingkan dengan negara lain. Berdasarkan data Riskesdas 2018, secara nasional, dan merata di seluruh provinsi, umur pertama kali merokok paling banyak adalah 15 – 19 tahun. Untuk itu, penting menyusun kebijakan, strategi dan regulasi yang, selain dapat menekan prevalensi merokok, termasuk mengantisipasi modalitas baru dalam mengonsumsi nikotin. “Kami juga berupaya untuk memperhatikan aspirasi dari civil society atau pun sektor privat,” ujar Brian.

Kementerian Kesehatan juga telah melakukan advokasi di daerah dengan menerapkan kawasan tanpa rokok. “Bahkan ada juga layanan konseling upaya berhenti merokok,” ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak Menular Kemenkes Cut Putri Arianie pada Focus Group Discussion (FGD) secara daring dengan tema Pengaturan Hasil Produk Tembakau Lainnya (HPTL) yang berlangsung akhir pekan ini.

Pada FGD tersebut, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto menjelaskan, prevalensi merokok sifatnya multi faktor jadi bukan hanya aspek media tetapi juga ada aspek-aspek sosial, ekonomi dan politik. Project Director MTCC Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Supriyatiningsih juga siap bersinergi dengan pemerintah supaya ada regulasi yang bisa ditetapkan dengan lebih tegas. “Karena kami sepakat bahwa perilaku merokok harus melalui perangkat regulasi yang kuat dan sinergi multi lembaga,” kata Supriyatiningsih.

Sementara, Lead Researcher Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YKPK) Amaliya menilai permasalahan rokok dan resikonya di Indonesia sudah darurat dan mengkhawatirkan. Menurutnya perlu pengaturan pemakaian rokok elektronik dan aturan larangan mengonsumsi pada anak-anak. Ketua Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR) Ariyo Bimo mengamini pembatasan untuk produk HPTL untuk anak di bawah umur. Ariyo berpendapat penyusunan regulasi untuk HPTL perlu dilakukan dengan segera, karena pada saat ini produk sudah beredar dan digunakan secara luas.

FGD ini melibatkan perwakilan dari Kemenkes, KPPPA, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, MTCC Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan WHO, Kemenko Perekonomian, LAKPESDAM PBNU, Koalisi Indonesia Bebas Tar (KABAR), dan Yayasan Pemerhati Kesehatan Publik (YPKP).