Categories
Berita Berita KSP Kedeputian

KSP Moeldoko Ajak LBH HKTI Bersinergi Selesaikan Konflik Agraria

JAKARTA – Pembentukan Lembaga Bantuan Hukum Himpunan Kerukunan Tani Indonesis (LBH HKTI) mendapat dukungan dari Kepala Staf Kepresidenan Dr. Moeldoko. Pasalnya, tujuan LBH HKTI sebagai jembatan untuk memediasi penyelesaian sengketa tanah atau konflik agraria, sejalan dengan fungsi dan peran Kantor Staf Presiden (KSP). “Untuk itu, jajaran pengurus LBH HKTI harus segera membangun sinergi dengan para pihak yang terkait di dalam maupun di luar pemerintahan dalam menyelesaikan konflik agraria,” tutur Moeldoko di Jakarta, Kamis (8/4).

Moeldoko menyampaikan, KSP telah menerima laporan 1.041 kasus konflik agraria sepanjang periode  2016 – 2021. Dari jumlah itu, 105 kasus atau 10,08% di antaranya memperhadapkan warga masyarakat adat dengan berbagai pihak, seperti perusahaan swasta maupun badan usaha milik negara. Bahkan, data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan adanya potret ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah bagi masyarakat, khususnya kaum tani di pedesaan. 

“Kini, rata-rata penguasaan tanah oleh petani berada di bawah 0,5 hektar/KK. Kecenderungannya, makin banyak petani kehilangan tanahnya karena berbagai faktor. Ketika akses atas tanah semakin kecil, maka kesejahteraan petani dan warga desa menjadi taruhannya,” jelas Moeldoko.

Moeldoko yang juga merupakan Ketua Umum HKTI pun menyadari bahwa Indonesia sebagai negara agraris masih mengalami banyak kendala dan hambatan dalam masalah keagrariaan dan pertanahan. Padahal, tanah merupakan faktor produksi yang utama dalam proses produksi pertanian pangan kita.

Meski begitu, Pemerintah tidak tinggal diam. Moeldoko bilang, belum lama ini KSP telah membentuk Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria dan Penguatan Kebijakan Reforma Agraria Tahun 2021. Tim yang bersifat ad-hoc ini diketuai Moeldoko, dengan wakil ketua adalah Menteri ATR/Kepala BPN dan Menteri LHK. Keanggotaan tim ini berasal dari 14 kementerian dan lembaga, termasuk pimpinan TNI dan Polri, serta pimpinan Holding PTPN dan Perhutani.  Selain itu, di dalam tim ini bergabung pimpinan dari 4 CSO sebagai mitra pemerintah dalam pelaksanaan reforma agraria, yakni dari Konsorsum Pembaruan Agraria (KPA), Serikat Petani Indonesia (SPI), Gerakan Masyarakat Perhutanan Sosial (Gema PS) Indonesia, dan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA).

“Intinya, melalui kerja bersama pemerintah lintas kementerian dan lembaga yang berkolaborasi dengan kalangan gerakan masyarakat sipil inilah, kita meyakini konflik agraria dapat diurai satu persatu. Konflik agraria dapat ditangani dan diselesaikan secara utuh, tuntas, dan berkeadilan,” imbuh Moeldoko.

Terhadap konflik agraria ini, Moeldoko menjelaskan, KSP menganalisisnya secara sosio-budaya, sosio-historis, dan sosio-legal secara komprehensif. Lalu, tim KSP mengkomunikasikan rekomendasi penyelesaian kasus-kasus tersebut kepada kementerian atau lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyelesaikannya. 
Moeldoko memaparkan, sejauh ini, ada beberapa kasus yang ditangani dan diselesaikan bersama secara lintas kementerian dan lembaga. Misalnya, sebagai contoh, kasus konflik agraria masyarakat adat Laman Kinipan, di Lamandau, Kalimatan Tengah. Awalnya KSP menanganinya bersama K-LHK.

Sekarang kasus Kinipan proses penanganannya dilakukan K-LHK. 
“Hal ini menunjukkan kerjasama yang dinamis. Ada momentum KSP memfasilitasi penyelesaian konflik. Ada pula mometum KSP memberikan dukungan ketika konflik ditangani kementerian terkait,” terang Moeldoko.

Dari kasus tersebut, kita belajar untuk menghargai eksistensi petani dan masyarakat adat sebagai bagian integral dari kebhinekaan bangsa Indonesia. Ke depan, kita perlu mendekati dan menangani konflik agraria yang melibatkan petani dan masyarakat adat dengan pendekatan holistik atau menyeluruh. Jangan hanya legal formal semata. Menutup pernyataanya, Moeldoko berharap, LBH HKTI bisa mengedepankan pendekatan sosio-kultural dan sosio-historis, di samping sosio-legal dalam pengakuan dan penguatan hak atas tanah rakyat.