Categories
Berita Kedeputian Kedeputian V

KSP : RUU PPRT Sudah Saatnya Disahkan Setelah Menunggu 20 Tahun

Jakarta – Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramowardhani menegaskan, Rancangan Undang – Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah saatnya disahkan. Terlebih, pembahasan RUU tersebut sudah mandek selama dua dekade.

“Kita sudah menunggu dua puluh tahun. Saatnya RUU itu disahkan untuk melindungi hak dan kewajiban para pekerja, pemberi kerja, dan penyalur,” kata Jaleswari, di gedung Bina Graha Jakarta, Kamis (1/9).

Jaleswari menyampaikan, pemerintah telah membentuk satuan tugas (Satgas) percepatan pembentukan RUU PPRT yang diinisiasi oleh Kantor Staf Presiden. Pasca disahkan pada Juli lalu, ujar dia, Satgas yang beranggotakan perwakilan dari delapan kementerian/lembaga tersebut, langsung bekerja untuk mengidentifikasi berbagai persoalan terkait perkembangan pembahasan RUU PPRT dengan Badan Legislasi DPR RI dan kementerian/lembaga.

“Kami sudah melakukan konsinyering untuk menyamakan persepsi tentang pentingnya UU PPRT dan merumuskan langkah-langkah strategis percepatannya,” jelasnya.

Jaleswari juga mengungkapkan, bahwa Satgas percepatan pembentukan RUU PPRT bersama perwakilan koalisi masyarakat sipil, telah melakukan audensi bersama Wakil Presiden Ma’ruf Amin, pada Rabu (31/8) kemarin.

Pada kesempatan itu, tutur Jaleswari, Wakil Presiden Ma’ruf Amin menyatakan mendukung penuh RUU PPRT segera disahkan menjadi Undang-Undang.

“Wapres menekankan pentingnya pekerja rumah tangga dilindungi oleh hukum dari pelanggaran hak-hak untuk tidak didzolimi, tidak direndahkan, dan tidak dieksploitasi,” kata Jaleswari mengutip pernyataan Wapres Ma’ruf Amin.

Categories
Berita Kedeputian Kedeputian V

Jamin Perlindungan Lalu Lintas Bagi Disabilitas, Pemerintah Perbaiki Layanan SIM D

Jakarta – Pemerintah memberikan perhatian serius demi menjamin hak dan perlindungan bagi disabilitas dalam berkendara dan berlalu lintas. Oleh karenanya, pemerintah akan terus berbenah dalam memberikan pelayanan dan fasilitas Surat Izin Mengemudi (SIM) D yang maksimal bagi penyandang disabilitas, dengan mengedapankan aspek proteksi.

“Kantor Staf Presiden (KSP) akan mendorong pemenuhan fasilitas pelayanan yang maksimal bagi penyandang disabilitas dalam mengakses SIM D di Polres daerah. Namun pemerintah memberikan apresiasi kepada Korlantas Polri yang telah bekerja menindaklanjuti komitmen negara dalam menjamin kesetaraan bagi disabilitas,” kata Tenaga Ahli Utama KSP, Mufti Makarim.

Hal ini disampaikan dalam rapat koordinasi antara jajaran Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri dengan tenaga ahli KSP di Gedung Bina Graha, Jakarta, Kamis (1/9).

Menurut data dari Korlantas Polri, sebanyak 104 SIM untuk penyandang disabilitas tuna rungu telah diterbitkan tahun ini. Penerbitan SIM D bagi penyandang disabilitas selalu didasarkan pada rekomendasi dokter Polri dan dokter umum yang terasosiasi dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI).

“Penting untuk dicatat bahwa aspek keselamatan di jalan masih tetap menjadi prioritas. Pemerintah terus bekerja melindungi hak-hak dan keselamatan disabilitas, dengan tidak mengabaikan keselamatan pengguna jalan lainnya,” imbuh Mufti.

Perlu diketahui, bagi para penyandang disabilitas ringan yang dapat mengendarai kendaraan bermotor bermodifikasi dan telah memenuhi standar kesehatan, maka SIM yang dapat diajukan adalah SIM A atau SIM C.

Sedangkan penyandang disabilitas yang menggunakan alat bantu yang mengendarai kendaraan bermotor tanpa modifikasi, dapat mengajukan SIM D dengan rekomendasi dari dokter.

“Kami tidak mendiskriminasi tetapi kami memberi perlindungan khusus bagi teman-teman Penyandang Disabilitas dalam akses berlalu lintas. Kepolisian terus berkomitmen untuk mengimplementasikan kebijakan dan praktik inklusif, baik disabilitas maupun non disabilitas mempunyai akses yang sama lain, dengan persyaratan yang harus dipenuhi,” kata Kepala Korlantas Polri Irjen Pol Firman Shantyabudi.

Categories
Berita Kedeputian Kedeputian V

Gugus Tugas Percepatan Penyusunan UU PPRT Bukti Komitmen Negara Lindungi Pekerja Rumah Tangga

Jakarta – Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani memastikan pemerintah tengah bekerja keras mempercepat pembentukan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT).

Ia menambahkan bahwa kementerian dan lembaga telah membentuk konsolidasi dan sinkronisasi yang kuat melalui konsinyering pertama dan diskusi terbatas Gugus Tugas Percepatan Pembentukan UU PPRT yang berlangsung di Jakarta, Selasa (30/8).

“UU PPRT yang bersifat lintas sektor perlu dikawal hingga selesai. Ini menjadi penting karena pekerja rumah tangga adalah kelompok yang mengalami kerentanan multi dimensi dan jumlah PRT di Indonesia tidak sedikit. Ada, 4,2 juta jumlah pekerja rumah tangga di Indonesia, yang 75,5 persen di antaranya adalah perempuan dan 25 persen-nya adalah anak-anak,” kata Jaleswari.

Deputi V mengungkapkan bahwa saat ini terdapat kekosongan regulasi terkait perlindungan bagi pekerja rumah tangga. Sesuai dengan arahan dan komitmen Presiden Joko Widodo dalam Perlindungan Tenaga Kerja, Perempuan, dan Anak, UU PPRT dirancang tidak hanya mengatur pekerja rumah tangga tetapi juga menjamin hak dan kewajiban pemberi pekerjaan dan juga penyalur pekerja rumah tangga.

Sementara itu, Gugus Tugas UU PPRT beranggotakan delapan kementerian lembaga, termasuk di dalamnya Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia , Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Sosial, Kementerian Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian RI, dan Kejaksaan Agung.

Dalam proses pembahasannya, pemerintah memastikan bahwa perwakilan organisasi masyarakat sipil akan turut dilibatkan.

“Gugus Tugas selanjutnya akan bekerja secara koordinatif dan efisien, memanfaatkan efektifitas waktu yang tidak banyak, dan terus mengawalnya di fraksi DPR RI untuk segera mendapat pengesahan,” imbuh Jaleswari.

Perlu diketahui, Pemerintah sebenarnya sudah mempunyai Permenaker No. 2 tahun 2015 yang mengatur perihal Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Namun, Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziah, mengatakan regulasi ini belum secara menyeluruh mengatur perlindungan pekerja, misalnya tentang jaminan sosial.

“Negara aktif menggaungkan perlindungan pekerja migran di luar negeri, maka seiring dengan hal tersebut kita juga perlu regulasi yang mengatur dan melindungi tenaga kerja informal, khususnya pekerja rumah tangga,” kata Ida Fauziah.

Pernyataan ini diamini oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM, Eddy Hiariej, yang menjelaskan prinsip timbal balik atau reciprocity principle. Menurutnya, Indonesia akan bisa menuntut negara lain yang tidak memperlakukan pekerja rumah tangga secara manusiawi karena Indonesia telah memiliki regulasi yang mengatur standar perlindungan bagi pekerja rumah tangga.

Categories
Berita Kedeputian Kedeputian V

Keppres Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial Percepat Pemenuhan Hak Korban

Jakarta – Keputusan presiden (Keppres) tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Masa Lalu yang baru diteken Presiden Joko Widodo adalah janji dan komitmen untuk memberi prioritas pada pemenuhan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat.

Deputi V Kepala Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani menambahkan bahwa pembentukan Keppres ini telah melalui proses pemikiran yang matang dan pembahasan yang panjang dengan melibatkan berbagai komponen bangsa, tidak terkecuali korban pelanggaran HAM.

“Tim penyelesaian non-yudisial ini beranggotakan tokoh-tokoh yang berintegritas, kompeten dan memiliki pemahaman HAM yang memadai, dan merepresentasikan kelompok yang bisa menjamin tercapainya tujuan dikeluarkannya Keppres. Mereka juga akan melakukan pengungkapan kebenaran, rekomendasi reparasi dan mengupayakan ketidak berulangan, sejalan dengan mandat komisi kebenaran,” kata Jaleswari.

Jika mekanisme yudisial berorientasi pada keadilan retributif, maka mekanisme non-yudisial berorientasi pada pemulihan korban (victim centered), terang Deputi V di Kantor Staf Presiden (KSP).

Disamping itu, jalur penyelesaian yudisial dan non-yudisial bersifat saling melengkapi (komplementer), bukan saling menggantikan (substitutif) untuk memastikan penyelesaian kasus secara menyeluruh.

Jaleswari juga menyanggah argumen yang menyatakan bahwa Keppres ini tidak memiliki landasan hukum yang jelas. Kebijakan penyelesaian non-yudisial dimungkinkan dikeluarkan oleh Presiden sebagai sebuah executive measure karena urgensi dan kemendesakan pemenuhan hak korban dan keluarga korban.

Berbagai studi juga menjelaskan bahwa beberapa Komisi Kebenaran (Truth Commission) yang pernah ada di dunia dibentuk dengan melalui Executive Measure, di antaranya melalui Keputusan Presiden.

Perlu diketahui, sampai saat ini, terdapat 13 peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang belum yang belum terselesaikan dengan 9 peristiwa diantaranya merupakan pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

“Dari berbagai peristiwa yang bentangan waktu dan tempatnya sedemikian panjang dan luas, serta konstruksi dan tipologinya yang bermacam-macam, dipastikan tidak bisa diselesaikan hanya dengan satu pendekatan. Mekanisme non-yudisial memberi kesempatan yang besar kepada korban didengar, diberdayakan, dimuliakan dan dipulihkan martabatnya,” pungkas Jaleswari.

Categories
Berita Kedeputian Kedeputian V

Tekad Kuat Presiden Jokowi Bebaskan Indonesia dari Beban Masa Lalu

Jakarta – Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Siti Ruhaini Dzuhayatin menegaskan, bahwa komitmen Presiden Joko Widodo dalam penyelesaiaan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu tidak pernah surut. Komitmen tersebut, ujar dia, didasarkan pada tekad kuat Presiden untuk membebaskan Indonesia dari beban masa lalu yang ‘menyandera’ dan menguras energi bangsa.

Ruhaini menyampaikan ini, menanggapi arahan Presiden Joko Widodo tentang penyelesaiaan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lalu, yang disampaikan dalam pidato kenegaraan di depan MPR, DPR, dan DPD RI, Selasa, (16/8).

“Dengan terselesaikannya pelanggaran berat di masa lalu bangsa Indonesia dapat menyongsong masa depan dengan percaya diri, bermartabat, dan optimisme dalam mewujudkan bangsa yang tangguh, mandiri, dan kompetitit ditingkat global,” kata Ruhaini, di Jakarta, Rabu (17/8).

Ruhaini mengatakan, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, atau sebelum diundangkannya UU No 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dilakukan dengan dua pendekatan. Yakni, yudisial dan non-yudisial.

Secara yudisial, lanjut Ruhaini, Presiden Jokowi telah menginstruksikan Kejaksaan Agung dan mendorong Komnas HAM untuk terus melanjutkan proses hukum atas pelangggaran HAM berat. Ia mencontohkan kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Paniai Papua pada yang terjadi pada 2014. Dugaan kasus tersebut sudah dilimpahkan ke pengadilan.

“Atas upaya ini, Presiden mengapresiasi kesungguhan semua pihak, termasuk Kejagung dan Komnas HAM,” terangnya.

Selain yudisial, pemerintah juga menggunakan pendekatan non-yudisial dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu. Yakni, memberikan penekanan pada aspek pengungkapan kebenaran, pemulihan korban, dan jaminan ketidakberulangan. Hal ini, dilakukan dengan membentuk tim penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu oleh Presiden.

“Kepres saat ini sudah ditandatangani oleh Presiden. Ini semakin menguatkan kinerja pemerintah dalam penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu secara non-yudisial yang saat ini sedang berlangsung.

“Pemerintah dan DPR saat ini juga terus melakukan pembahasan untuk percepatan RUU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi,” tandasnya.

Ruhaini juga mengungkapkan beberapa upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui pendekatan non-yudisial. Yaitu, pelaksanaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh pasca Daerah Operasi Militer, serta penyiapan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Papua yang menjadi bagian dari UU Otonomi Khusus (Otsus) Papua.

Seperti diketahui, Presiden Joko Widodo mengaku telah menandatangani Keputusan Presiden (Kepres) tentang pembentukan tim penyelesaian non-yudisial untuk pelanggaran HAM berat di masa lalu. Hal itu diungkapkan Presiden dalam pidatonya, pada Sidang Tahunan MPR-RI dan Sidang Bersama DPR-RI dan DPD-RI dalam rangka HUT ke-77 Proklamasi Kemerdekaan RI, di gedung Nusantara MPR/DPR/DPD RI Senayan Jakarta.

“Keppres pembentukan tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu telah saya tanda tangani,” ungkap Presiden Jokowi.