Categories
News KSP News Deputies Deputy Chief of Staff for Politics, Law, Defense, Security and Human Rights

KSP Apresiasi Kerja KKR Aceh dalam Mengungkapkan Kebenaran dan Membangun Rekonsiliasi

JAKARTA- Kantor Staf Presiden mengapresiasi kerja keras KKR Aceh yang dengan keterbatasan, terus bergerak dan terus meletakkan dasar-dasar, baik secara kelembagaan maupun mekanisme dalam kerja kerja pengungkapan kebenaran, pemulihan korban dan perwujudan rekonsiliasi bagi warga korban konflik dan korban pelanggaran HAM di Aceh. Hal ini disampaikan oleh Sigit Pamungkas, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden dalam Webinar Internasional dalam rangka Hari Internasional untuk Kebenaran dan Martabat Korban Pelanggaran HAM yang Berat yang diperingati setiap tanggal 24 Maret, yang diselenggarakan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh.

Dalam webinar yang menampilkan 16 pembicara dari perwakilan pemerintah pusat dan daerah, lembaga HAM negara serta para tokoh HAM dan akademisi baik dari dalam maupun luar negeri ini KSP menegaskan kembali komitmen dan arahan Presiden Jokowi untuk melakukan penanganan terhadap pelanggaran HAM berat di masa lalu sebagaimana disampaikan oleh dalam Pidato Presiden pada saat pidato Peringatan Hari HAM Internasional 10 Desember 2020 yang mebyebutkan, “Pemerintah tidak pernah berhenti untuk menuntaskan masalah HAM masa lalu secara bijak dan bermartabat. Melalui Menkopolhukam, saya telah menugaskan agar penyelesaian masalah HAM masa lalu terus dilanjutkan yang hasilnya bisa diterima semua pihak serta diterima di dunia internasional”. Sigit Pamungkas menegaskan, arahan Presiden inilah yang akan menjadi pegangan sikap pemerintah.

Sebagaimana kita ketahui, saat ini Kemenko Polhukam dan Kemenkumham sedang merumuskan kebijakan tersebut dalam bentuk mekanisme nonyudisial guna melengkapi mekanisme yudisial yang sudah ada yang didasarkan pada UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Setelah draft tersebut tersedia, tentu terbuka kesempatan bagi kelompok korban dan organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan-masukan yang konstruktif. Belajar dari tantangan dan kesulitan dalam merumuskan kebijakan tersebut selama bertahun-tahun, saya ingin menyampaikan bahwa kali ini pemerintah akan mencari jalan terbaik dengan titik temu: apa yang diinginkan oleh para korban (desirable), apa yang secara politik memungkinkan (feasible) dan sejauh yang memungkinkan sejalan dan selaras dengan Konstitusi dan norma HAM internasional (permissible) sebagaimana disebutkan dalam Putusan MK Putusan MK No. 006/PUU-IV/2006.

Mewakili Gubernur Aceh yang tidak bisa menghadiri webinar internasional ini, Staf Ahli Gubernur Drs. Buchari, MM., memberikan apresiasi atas kerja-kerja KKR Aceh periode ini (2016 – 2021) dan mengharapkan agar KKR Aceh pada periode yang akan datang akan memprioritaskan pada kerja-kerja membangun rekonsiliasi diantara warga.

Lebih jauh Sigit Pamungkas menganggap bahwa apa yang dicapai oleh KKR Aceh dalam melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran, merekomendasikan pemulihan dan mewujudkan rekonsiliasi dapat menjadi model bagi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di wilayah lain, atau dalam skala yang lebih luas. Masyarakat korban sebagai kelompok yang paling terdampak dan menderita akibat terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM di masa lalu harus dijadikan fokus utama, mendapatkan prioritas, menjadi sasaran utama penanganan. Ini dari penyelesaian non-yudisial sejatinya adalah pendekatan yang berperspektif dan berorientasi korban.

Kantor Staf Presiden sangat menghargai kerja keras KKR Aceh meski dalam keterbatasan, yang terus bergerak dan terus meletakkan dasar-dasar, baik secara kelembagaan maupun mekanisme pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi yang tidak mudah. Bekerjanya KKR merupakan panggilan jiwa yang ‘beyond call of duty’, bukan sekedar bekerja serta panggilan kemanusiaan guna meletakkan harkat manusia untuk terus hidup, tidak dibunuh, dihilangkan atau disembunyikan dari rumitnya penyelesaian pelanggaran HAM dan kemanusiaan.

Pada bagian akhir Sigit Pamungkas mengatakan bahwa meskipun keberadaan KKR Aceh memiliki kompleksitas hukum tersendiri, utamanya pasca pembatalan UU KKR oleh MK tahun 2006, KKR Aceh tetap berupaya untuk memposisikan diri menjadi inisiatif yang terus bekerja agar asa penyelesaian atas persoalan kemanusiaan tetap menyala di Provinsi Aceh guna memastikan keberlanjutan pembangunan dan perdamaian di Aceh.